Selasa, 10 April 2012

Skripsi PAI


ABSTRAKSI


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Upaya pembinaan keimanan pada siswa-siswi di MI Darul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan tahun pelajaran 2007/2008; (2) Upaya pembinaan keimanan pada siswa-siswi yang diterapkan di MI Darul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan Tahun Pelajaran 2007/2008.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dengan teknik analisis deskripsi. Data penelitian yang terkumpul kemudin dianalisis dengan menggunakan pendekatan deduktif dan pendekatan induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pembinaan keimanan pada siswa-siswi di MI Darul Huda telah terencana dan terprogram.
Upaya pembinaan keimanan merupakan proses pendewasaan peserta didik agar dapat memahami ajaran agama Islam dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya pembinaan keimanan ada beberapa komponen yang saling mendukung yaitu: (1) Tujuan, (2) Materi, (3) Metode dan pendekatan, (4) Sarana dan prasarana, dan (5) Evaluasi. Masing-masing komponen tidak dapat dipisahkan, karena bila dipisahkan maka ibarat manusia yang berjalan akan pincang.
MI Darul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan tahun pelajaran 2007/2008 dengan upaya pembinaan keimanannya dapat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam hal ilmu pengetahuan, keimanan dan ketakwaan. Dengan penguasaan dan pemahaman terhadap ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat beraktulisasi diri di era globalisasi. Melalui pembinaan keimanan dalam aspek aqidah, ibadah dan akhlak, diharapkan setelah peserta didik sudah dewasa keimanannya akan tetap tertanam dalam jiwanya. Dengan pemilihan metode dan pendekatan yang tepat, maka tujuan yang telah ditetapkan di MI Darul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan Tahun Pelajaran 2007/2008 dapat tercapai.

Keywods: Pembinaan; Keimanan




 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bila ilmu bermula dengan sikap tidak percaya maka agama bermula dari sikap percaya. Ia menerima suatu kebenaran dengan tidak mau dibantah. Kebenaran agama bersifat absolut. Percaya adalah pangkal dan tujuan pengabdian dari agama. Iman bagi seseorang adalah meyakini Islam. Pengertian iman bukan sekedar percaya, kalau kriterianya percaya, maka setan pun dapat dikategorikan makhluk beriman, sebab mereka juga percaya adanya Tuhan dan hari pembalasan.[1] Iman dapat diartikan :


 


Artinya: “Iman adalah ucapan dengan lisan, mengaqidahkan dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.”[2]


1
 
Iman tidak dapat dilihat oleh indera, tetapi dapat dilihat dari indikatornya, yaitu tindakan dan perbuatan. Iman dapat juga menebal dan menipis, tergantung pada pembinaannya. Bila banyak latihan, mempelajari dalil-dalil serta menganalisa yang berkaitan dengan iman, maka akan semakin menebal.[3] Diantara hal-hal yang berkaitan dengan keimanan adalah aqidah, ibadah dan akhlak.
Sehubungan dengan betapa berharganya iman bagi diri setiap mukmin, bahkan diibaratkan dalam surat al–Baqarah ayat 256 yang berbunyi:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ


Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasukkan agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 256)[4]

Dengan pengertian di atas, maka perlu adanya upaya pembinaan keimanan yang terus menerus dan berkesinambungan. Karena iman merupakan potensi rohani atau fitrah manusia yang harus diaktualisasikan, dikembangkan dan ditingkatkan secara terus menerus dengan cara melakukan amal shaleh, sehingga dapat dicapai prestasi rohani (iman).[5] Dengan demikian keimanan yang sudah tertanam sejak kecil dalam diri siswa harus dipertahankan dan ditingkatkan. Hal tersebut dapat dicapai dengan melalui upaya pembinaan aqidah, pembinaan untuk melakukan ibadah dan mengarahkan untuk berakhlak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Ketiga bentuk pembinaan diatas menjadi salah satu tanggung jawab lembaga pendidikan. Dimana tanggung jawab lembaga pendidikan dalam segala jenisnya menurut pandangan Islam adalah berkaitan dengan usaha mensukseskan misi dalam 3 macam tuntutan hidup seorang muslim yaitu:
  1. Pembebasan manusia dari ancaman api neraka.
  2. Pembinaan umat manusia menjadi hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan akhirat sebagai realisasi cita-cita seorang yang beriman dan bertakwa.
  3. Membentuk diri pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan dirinya kepada Kholiknya. Keyakinan dan keimanannya berfungsi sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budinya.[6]
Sedangkan pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok manusia dapat berkembang sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.[7]
Pembukaan Undang-Undang Dasar republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintah Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas manusia sebagaimana termaktub dalam UU RI No. 02 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 4 yaitu:
“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”

Selain dasar diatas Tap MPR No. II/ MPR/ 1998 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan baik secara formal maupun non formal. Salah satu sub sistem pendidikan nasional adalah madrasah yang berdiri di bawah naungan Departemen Agama.[8] Disamping ada Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan yang menangani pendidikan nasional yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).
Kita tahu bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang sudah ada pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang didirikan atas swadaya masyarakat. Model madrasah sangat bervariasi tergantung pada pemilik dan pendirinya. Sudah barang tentu kualitas pendidikannya pun sangat berbeda. Keadaan in mendorong pemerintah dalam hal ini Departemen Agama untuk me-negeri-kan beberapa madrasah swasta yang jumlahnya sangat banyak. Untuk meningkatkan kualitasnya, di era globalisasi dan IPTEK, berbagai upaya telah dan sedang dilaksanakan, seperti penataran kepala madrasah dan guru, pengembangan EMIS (Education Management Information System), perbaikan sarana dan prasarana dan sebagainya.
Karena jumlah madrasah yang banyak, tidak semua madrasah dapat ditingkatkan kualitasnya secara bersamaan, tetapi pembinaan tersebut mesti dilakukan namun secara berjenjang. Salah satunya dengan cara mengembangkan madrasah inti yang dijadikan model bagi madrasah sekitarnya. Selain berfungsi sebagai model, madrasah tersebut diharapkan dapat menjadi Pusat Sumber Belajar Bersama (PSBB) bagi madrasah di sekitarnya yang notabene menjadi anggota KKM (Kelompok Kerja Madrasah) baik negeri maupun swasta.
Sejalan dengan tanggung jawab lembaga pendidikan, tujuan pendidikan Islam juga bertujuan merealisasikan idealitas Islam. Sedang idealitas Islam itu sendiri pada hakekatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.[9]
MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan melakukan upaya pembinaan keimanan[10] pada siswa yang terus dijalani selama bertahun-tahun. Upaya pembinaan keimanan yang diterapkan mencakup pembinaan aqidah, ibadah dan akhlak. Oleh karena itu, hal menarik yang akan penulis telaah ditekankan pada satu titik, yaitu bagaimana upaya pembinaan keimanan pada siswa yang diterapkan di MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan.
Dengan upaya pembinaan keimanan pada siswa yang diterapkan di MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah penulisan skripsi yang berjudul: “Upaya Pembinaan Keimanan Siswa Di MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan.”
Untuk menghindari kesalahpahaman tentang judul skripsi ini, maka perlu ditegaskan beberapa istilah yang digunakan, yaitu:
1.      Upaya adalah usaha (syarat) untuk menyampaikan suatu maksud.[11]
2.      Pembinaan adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.[12]
3.      Keimanan adalah keyakinan, ketetapan hati, keteguhan hati.[13]
4.      Siswa adalah peserta didik (terutama pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah/ Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah/SMP dan pelajar Madrasah Aliyah/ SMA).[14] Yang dimaksud siswa dalam skripsi ini adalah usia tingkat Sekolah Dasar. Usianya berkisar antara 13 – 15 tahun yang dalam bukunya Syamsu Yusuf LN. yang berjudul, “Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja” telah menyebutkan bahwa usia tersebut adalah masa pra remaja (remaja awal) dan jenjang pendidikannya menempati masa usia Sekolah Dasar.[15]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian dan latar belakang masalah seperti dikemukakan diatas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah: Bagaimana upaya pembinaan keimanan pada siswa yang diterapkan di MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan?

C.    Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui upaya pembinaan keimanan pada siswa yang diterapkan di MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan.

D.    Manfaat Penelitian
Pada khususnya, diharapkan penelitian upaya pembinaan keimanan dalam proses belajar mengajar di lingkungan lembaga pendidikan, dapat menjadi panutan bagi pengelola lembaga pendidikan lain yang belum menerapkannya. Karena dengan upaya pembinaan keimanan itu dapat mengarahkan siswa untuk memiliki mental spiritual yang kuat dan tidak mudah terjerumus ke dalam jurang yang jauh dari norma dan nilai-nilai yang digariskan agama.
Dari deskriptif upaya pembinaan keimanan ini dapat diambil pelajaran positif bagi lembaga pendidikan secara umum, sehingga dapat diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan dan diharapkan akan menghasilkan output yang berilmu dan beriman.

E.     Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan bertujuan menguraikan pembahasan masalah di atas agar lebih terarah dan mudah dipahami. Serta yang tidak kalah penting adalah uraian-uraian yang disajikan nantinya mampu menjawab permasalahan yang telah disebutkan, sehingga tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, latar belakang masalah, penegasan istilah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Landasan Teori. Bab ini berisi tentang deskripsi teori mengenai: Pembinaan keimanan Pada Remaja yang meliputi: pembinaan keimanan, pengertian iman, dasar dan tujuan pembinaan keimanan. Pembinaan keimanan pada remaja meliputi: pengertian pembinaan keimanan pada remaja, materi pembinaan keimanan, metode pembinaan keimanan, pendekatan pembinaan keimanan, dan evaluasi.
BAB III: Metodologi Penelitian. Bab ini membahas tentang pendekatan penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.
BAB IV: Hasil Penelitian. Bab ini memuat tentang data penelitian yang terdiri dari: kondisi umum MI Nurul Huda Kepulungan Gempol Kabupaten Pasuruan meliputi: tinjauan historis, tinjauan geografis, struktur organisasi, visi, misi dan tujuan, sarana dan prasarana, keadaan pendidik dan upaya pembinaan keimanan yang meliputi: materi, metode, pendekatan, target, dan evaluasi upaya pembinaan keimanan. Faktor pendukung dan penghambat upaya pembinaan keimanan. Selanjutnya adalah analisis data.
BAB V: Penutup yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran, dan penutup.


[1] Imam Munawwir, Memahami Prinsip-Prinsip Dasar Al Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1988), hlm. 83.
[2] Kahar Masyhur, Membina Islam dan Iman, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), hlm. 58.
[3] Imam Munawwir, op. cit., hlm. 83.
[4] 1Imam Munawwir, Memahami Prinsip-Prinsip Dasar Al Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1988), hlm. 83.
[5] Sunaryo, RHA., Al Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV. Surya Cipta Aksara, 1993), hlm. 63.
[6] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 148.
[7] Fuad Hasan, Dasar-Dasar Kependidikan Komponen MKDK, Jakarta: Rineka Cipta, 1996, Hal. 2.
[8] Dr. H. Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 146.
[9] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), hlm. 39.
[10] Yang dimaksud upaya pembinaan keimanan dalam skripsi ini adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus melalui bimbingan mengenai hal-hal yang dapat memperkuat iman. Upaya pembinaan keimanan ini meliputi aqidah, ibadah dan akhlak.
[11] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bakai Pustaka, 2003), hlm. 1345.
[12] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus BesarBahasa Indonesia Edisi ke 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 134.
[13] W.J.S. Poerwadarminta, op. cit., hlm. 439
[14] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 849.
[15] Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), cet I, hlm. 23-26.
 
BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Pembinaan Keimanan
Di akhir zaman ini dunia pendidikan terus berkembang dengan pesat. Pendidikan dan perkembangan sains serta teknologi pun semakin canggih. Orang-orang berbondong-bondong berupaya mengangkat derajat dan martabat dirinya dengan pendidikan agar mendapat status sosial yang baik dan terhormat. Berbagai bidang sains dan teknologi mereka pelajari dan tuntut dalam lembaga-lembaga pendidikan baik yang berdomisili di dalam negeri maupun di luar negeri.
Perkembangan zaman sains dan teknologi membawa manusia kepada kemajuan berfikir, bersikap dan berkarya dengan berbagai motivasi dan tujuan. Namun kewajiban pertama bagi manusia adalah mengenal Allah utusan dan kebenaran risalah melalui ilmu yang membuahkan keyakinan, mengenal tempat kembalinya kelak dan mengenal agama Tuhannya yang Ia perintahkan untuk mengikuti-Nya.
10
 
Nilai sebuah ilmu itu sepadan dengan nilai pengetahuan yang dibahas didalamnya. Sedangkan tentang iman adalah ilmu yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah, tentang Rasul-Nya dan pengertian tentang agama Allah. Jika pentingnya ilmu sesuai dengan manfaat yang diperoleh manusia dari dirinya maupun bahaya menghindarinya maka ilmu tentang iman bisa diwujudkan kebahagiaan dan keberuntungan besar bagi manusia di dunia dan di akhirat.[1]
Keimanan merupakan hal yang sangat urgen bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Karena, menurut Zakiah Daradjat bahwa fungsi keimanan adalah “dapat menemukan keserasian antara pikiran, perasaan dan perbuatan.”[2]
Oleh sebab itu keimanan juga dapat menciptakan rasa aman tentram tatkala ditanamkan sejak kecil. Untuk dapat mencapai hal tersebut maka perlu adanya suatu bimbingan dan arahan secara terus menerus tentang hal-hal yang berkaitan dengan keimanan yang diantaranya yaitu aqidah yang kuat, ibadah yang teratur serta berakhlak al-karimah dengan melalui pembiasaan dan pembinaan.
  1. Pengertian Iman
Kata iman berasal dari bahasa arab yaitu                                                                 
yang berarti beriman, percaya. Selain itu iman dapat diartikan Tasdiq (membenarkan), ats-Tsiqah (mempercayai dan menerima syari'at), sedangkan para ulama' syara' mendefinisikan iman dengan:


Artinya: "Mengikrarkan dengan lisan, menetapkan dalam hati dan mengamalkan dengan anggota badan.”[3]

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa iman adalah mempercayai dan membenarkan dengan lisan, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan anggota badan. Adapun pengertian iman secara khusus ialah sebagaimana terdapat dalam rukun iman.
Oleh karena itu, hakekat keimanan yang menjadi syarat diterimanya amal dan terwujudnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah yaitu yang tercantum dalam al-Quran, surat al-Hujurat ayat 15.
$yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ  

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, kemudian mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15).[4]

Dari ayat di atas iman yang diterima dan benar adalah keyakinan yang tidak dicampur dengan keraguan dan amalan yang diantaranya adalah jihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah. Sebab keyakinan saja tidak cukup sebagai syarat diterimanya iman. Karena iman yang benar adalah keyakinan yang kuat yang tidak dicampuri dengan keraguan dan perbuatan yang mengakibatkan kemusyrikan.
Adapun macam perbuatan iman ialah perbuatan hati, lidah dan anggota badan. Maka perbuatan itu dapat terwujud melalui keyakinan kokoh di dalam hati, amalan di hati, dan anggota badan.[5]

  1. Dasar dan Tujuan
a.       Dasar
Agar sesuatu tujuan terasa kuat dan bermakna maka perlu adanya suatu dasar atau landasan. Dasar yang penulis maksud adalah yang mengatur secara langsung tentang perlunya upaya pembinaan keimanan bagi remaja. Adapun dasar pelaksanaan pembinaan keimanan pada remaja dapat ditinjau dari 3 dasar yaitu, sebagai berikut:[6]
1)      Dasar religius.
2)      Dasar yuridis.
3)      Dasar sosial psikologis
Penjelasan dari ketiga dasar tersebut adalah sebagai berikut; Yang dimaksud dasar religius dalam hal ini adalah dasar-dasar yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadits.
a.    Al-Qur'an
Allah membimbing dan menunjukkan jalan yang lebih lurus dan lebih aman untuk mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Jalan yang paling lurus dan paling aman adalah jalan yang difirmankan–Nya dalam al-Qur'an. Sedangkan al-Qur'an adalah kitab Allah yang terjaga kebenarannya. Maka hanya dengan mengikuti petunjuk al-Qur'an kebahagiaan hakiki manusia dapat diperoleh. Oleh karena itu komitmen manusia dalam mengambil nilai-nilai keimanan sebagai suatu cara manusia tetap berpegang teguh di jalan Allah serta melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan bentuk amal shaleh. Yang ditunjukkan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104.
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  

Artinya: "Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada kebaikan menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung". (QS. Ali Imran: 104)[7]

b.    Al-Hadits
Al-Hadits adalah sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam. Apa yang telah disebut dalam al-Qur'an dijelaskan atau terinci lebih lanjut oleh Rasulullah dengan sunah-sunah beliau. Oleh karena itu sunah Rasul yang kini terdapat dalam hadist merupakan penafsiran serta penjelasan autentik tentang al-Qur'an.
Sedangkan nilai upaya pembinaan keimanan yang terkandung dalam al-Hadits antara lain:




Artinya:“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dia Berkata: Nabi Muhammad SAW. bersabda: Setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi… (HR. al Bukhari).”[8]

Secara yuridis (hukum) yaitu terdapat dalam pancasila sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan:
§  Negara berdasarkan atas ketuhanan YME.
§  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.[9]
Dasar ideal yaitu falsafah negara pancasila sebagaimana disebutkan oleh Zuhairini dkk., dasar tersebut mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan yang Maha Esa atau tegasnya dalam Islam dinamakan Iman. Sebagai wujud pelaksanaan hal tersebut, maka perlu adanya upaya pembinaan keimanan. Sebab tanpa adanya pembinaan akan sulit mewujudkan sila pertama dari pancasila tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan dasar sosial psikologis adalah setiap manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yaitu agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada sesuatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan tempat mereka minta pertolongan.
Hal semacam ini terjadi pada masyarakat yang masih primitif maupun sudah modern. Mereka akan merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekat dan mengabdi kepada Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Ra'du ayat 28.
                                                                      tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ  

Artinya: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan ingat kepada Allah­lah hati menjadi tentram.” (QS. ar-Ra’du: 28)[10]

Oleh karena itu manusia akan selalu berusaha mendekatkan diri pada Tuhan sesuai dengan agama yang dianutnya. Itulah sebabnya bagi orang muslim diperlukan adanya pembinaan keimanan agar dapat mengarahkan fitrah mereka ke arah yang benar sehingga mereka akan dapat mengabdikan diri dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Karena tanpa adanya upaya pembinaan keimanan dari satu generasi kegenerasi berikutnya maka akan semakin jauh dari keimanan yang benar.
b.      Tujuan
Tujuan upaya pembinaan keimanan pada remaja dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1)      Perubahan yang diinginkan, yang diusahakan oleh proses pembinaan keimanan dalam rangka sosialisasi tata nilai ajaran agama Islam.
2)      Perubahan pada aspek pengetahuan, sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Menciptakan manusia agar dirinya secara sadar mau mengakui sebagai hamba Allah yang mau mengabdikan diri kepada-Nya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  

Artinya: “Dan tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)[11]

Agar remaja dapat meyakini dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumbernya yang utama. Membentuk insan kamil yang bertaqwa dan terefleksikan dalam tiga perilaku yaitu hubungan baik antara manusia dengan Allah (Khaliq), manusia dengan manusia maupun dengan alam semesta (sekitar).

B.     Pembinaan Keimanan Pada Remaja
Pendidikan Islam adalah sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah yang berkepribadian muslim. Upaya pembinaan keimanan pada remaja dalam kaitannya dengan pembangunan merupakan pembinaan terhadap bangunan bawah dari moral bangsa terwujudnya kehidupan masyarakat yang berpegang pada moralitas tak bisa lain kecuali dari upaya pembinaan keimanan secara menyeluruh.
Mengingat pentingnya arti dan peranan iman bagi tatanan kehidupan perseorangan atau masyarakat maka perlu menempatkan pembinaan keimanan sebagai faktor dasar yang paling penting. Pembinaan keimanan sebagai penghayatan terhadap tujuan kehidupan manusia, sebenarnya bukan sekedar mempercayai seperangkat aqidah dan melaksanakan tata upacara keagamaan saja. Tetapi merupakan usaha yang terus menerus untuk menyempurnakan diri pribadi dalam hubungan vertikal terhadap Allah, horizontal terhadap sesama manusia dan lingkungan sehingga terwujud keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidup menurut fithrah kejadiannya sebagai makhluq individu, sosial serta berketuhanan YME.

  1. Pengertian Pembinaan Keimanan Pada Remaja
Definisi pembinaan keimanan pada remaja tidak dapat diartikan secara implisit. Maka penulis menjelaskan satu persatu, yaitu: pengertian pembinaan, keimanan dan remaja.
a.       Pembinaan
Secara harfiah pembinaan adalah bentuk kejadian yang berasal dari kata "bina" mendapat konfiks pe-an yang berarti "pembangunan" atau "pembaharuan".[12] Dalam konteksnya dengan keimanan Lukman Ali mendefinisikan pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembinaan adalah sebagai suatu usaha yang dilakukan secara sadar, berencana, teratur dan terarah serta bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian dengan segala aspeknya.[13]
Secara umum pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus. Terhadap tatanan nilai keimanan agar segala perilaku kehidupan nya senantiasa di atas norma-norma yang ada dalam tatanan itu.
b.      Keimanan
Keimanan adalah kepercayaan, keyakinan, ketetapan hati dan keteguhan hati.[14] Dan konsekuensi logis bagi seseorang menjadi muslim yang sejati dan dia akan mendapatkan ketenangan yang berupa terbebas dari belenggu ketakutan dan kesesatan.
Keimanan di sini yang dimaksud ialah merupakan suatu proses atau upaya bimbingan tentang pemahaman nilai-nilai keimanan dan menginternalisasikan keimanan itu dengan cara membimbing jiwa anak didik supaya mempribadi, memberikan pendidikan agama Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan as-sunnah .

c.       Remaja
Remaja yang dimaksud disini adalah siswa-siswi menengah pertama. Yang dalam kategori usia berkisar antara 13-15 tahun. Dalam bukunya Syamsu Yusuf LN. yang berjudul Psikologi Perkembangan Anak Remaja, disebutkan bahwa usia tersebut tergolong usia remaja.[15]
Dengan demikian dapat diambil pengertian tentang pembinaan keimanan pada remaja, yaitu proses bimbingan, penanaman dan pemahaman secara sadar tentang nilai-nilai keimanan dalam jiwa remaja dengan memberikan pendidikan agama Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan harapan agar remaja memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang ditanamkan yaitu nilai-nilai ibadah dan nilai-nilai akhlaq. Nilai-nilai keimanan ini akan membentuk remaja yang teguh imannya, beribadah kepada Allah dan berakhlaq al-Karimah.

  1. Materi Pembinaan Keimanan
Materi pelajaran yang dipelajari dalam praktek pendidikan yang tekanannya pada pembinaan keimanan harus melalui adanya proses sosialisasi dan pembudayaan kemampuan, nilai dan sikap bukan hanya pada tingkat mencatat dan menghafal, sehingga dalam hal materi pembinaan keimanan diperlukan pemahaman yang mendalam dan penghayatan akan materi pelajaran.
Proses pendidikan merupakan proses yang tidak terlepas materi yang merupakan bagian dari kurikulum. Diharapkan dapat mencapai sebuah tujuan, untuk mencapai itu materi yang disampaikan harus terprogram dengan baik, karena dengan hal itu, pendidik akan dengan mudah menyampaikan apa yang menjadi sebuah pendidikan.
Kaitannya dengan esensi pendidikan Islam yang tak lepas dari landasan filsafat pendidikan, mengarahkan proses kependidikan Islam, Muhammad Fadil al-Djamaly pernah menyitir hal ini, bahwa pendidikan keberagamaan yang berlandaskan keimanan merupakan pendidikan yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Islam dan bersifat menyeluruh berdasarkan iman pula. Karena dengan iman yang benar akan menjadi dasar dari setiap pendidikan yang benar.[16]
Materi merupakan bagian dari sebuah kurikulum, sedangkan substansi yang harus diperhatikan dalam membuat kurikulum, sebagaimana yang diungkapkan oleh Herman H. Horne, adalah sebagai berikut:
a.       The ability and needs of children (kemampuan yang diperoleh dari belajar dan kebutuhan anak didik). Hal ini dapat diketahui dari psikologi.
b.      The legitimate demands of society (tuntutan yang sah dari masyarakat) hal ini dapat diketahui dari sosiologi.
c.       The kids of universe in which we live (keadaan dalam semesta dimana kita hidup. Hal ini dapat kita ketahui dari filsafat dan agama.[17]
Dengan demikian, dalam merancang sebuah materi perlu adanya sebuah konsep yang komprehensif, yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Iman tidak dapat dilihat oleh indera, tetapi hanya dapat dilihat dari indikatornya, yaitu tindakan dan perbuatan. Iman pada dasarnya dapat menebal dan menipis tergantung pada pembinaannya. Bila banyak latihan, mempelajari dalil-dalil serta menganalisa yang berkaitan dengan iman, maka akan semakin menebal.[18] Sehingga diperlukan rangkaian materi yang ada hubungannya dengan keimanan yang dapat meningkatkan keimanan remaja.
Dalam hal ini maka materi yang hendaknya disampaikan dalam pembinaan keimanan pada remaja meliputi: aqidah, ibadah dan akhlak.
a.       Materi Pembinaan Aqidah
Dalam ajaran Islam ada beberapa aspek yang dimiliki, yaitu: aqidah, ibadah, dan Akhlak.
Aqidah dapat diartikan sebagai ajaran tentang keimanan terhadap ke-Esaan Allah Swt.,. Aqaid merupakan jamak dari Aqidah. Pengertian secara luas adalah keyakinan penuh yang dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lidah dan diwujudkan oleh amal perbuatan.
Sedangkan pengertian secara khusus adalah sebagaimana yang tertuang dalam rukun iman.[19] Selain pengertian di atas, secara etimologi, aqidah berakar dari kata ‘aqada - ya'qidu - 'aqdan – ‘aqidatan. 'aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi 'aqidah berarti keyakinan.[20]
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi (ta'rif) tentang aqidah antara lain;
§  Menurut Hasan al-Banna:
'Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.
§  Menurut abu bakar jabir al-Jazary
"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (kebenaran) itu dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati (serta) diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan di tolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.”[21]
Aqidah dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan. Menurut Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
§  Ilahiyat, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat–sifat Allah, Af'al Allah dan lain-lain.
§  Nubuwat, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu'jizat, keramat, dan lain sebagainya.
§  Ruhaniyat, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, syaitan, roh dan lain sebagainya.
§  Sam'iyat; pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sa'i (dalil naqli berupa al-Qur’an dan sunah seperti alam barzakh, akhirat, adzab kubur, tanda–tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[22]
Aqidah Islamiyah yang sedemikian kuat, yang membuahkan amal peribadahan sedemikian tinggi dan menghiasi akhlak yang sedemikian mulia, memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dari setiap muslim, maka penanamannya kepada diri remaja pun memerlukan penanganan yang serius dan berkesinambungan semenjak ia lahir hingga mencapai dewasa.

Materi pendidikan aqidah terkemas dalam sebuah ilmu yang disebut ilmu tauhid. Sebuah disiplin ilmu dengan mempelajari tentang bagaimana cara men-tauhid-kan (meng-Esakan Allah) dengan dalil yang meyakinkan.
Islam menempatkan pendidikan aqidah ini pada posisi yang paling mendasar. Ia memposisikan dalam rukun yang pertama dari rukun Islam yang lima, sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara orang Islam dan non Islam. Ikrar dua kalimat syahadat dan mempedomaninya dalam kehidupan sehari-hari maka dia pantas menyandang predikat sebagai orang Islam. Dan yang tidak mengikrarkannya, dia berarti orang non Islam.
Aqidah Islam juga mempunyai enam aspek keimanan; yaitu iman kepada Allah Swt, para malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, hari kiamat, dan iman kepada takdir baik atau buruk yang menjadi ketentuan Allah. Aspek keimanan tidak mampu ditangkap manusia dengan panca indera, karena merupakan hal yang ghaib. Namun dapat dilihat dari indikatornya, yaitu dalam tindakan dan perbuatan.
Mengimani Allah berarti membenarkan dengan hati yang murni dan pasti tentang wujud Dzat-Nya. Dialah al-Awwal wal Akhir, Dialah Dhahir diatas segala-galanya sehingga tidak ada suatu pun yang berada di atas-Nya. Dia juga Bathin sehingga tidak ada lagi yang di bawah-Nya, Maha Hidup, Qayyum, Esa dan tempat berlindung.[23]
Pada hakekatnya, iman tidak sekedar percaya kepada Allah, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah, tetapi mencakup pula pengertian yang benar siapa Allah yang kita percaya itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia.
Tekanan iman adalah amal, karena iman kepada Allah harus disertai dengan sikap kepada Allah dalam bentuk ibadah (ritus) dan aktualisasinya dalam bentuk amal shaleh yang pada akhirnya membentuk kesalehan pribadi dan sosial.[24]
Secara sistematis, materi pembahasan aqidah mengikuti sistematika arkanul iman, yaitu:
§  Iman kepada Allah
§  Iman kepada Malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluq ruhani lainnya seperti, jin, iblis dan syaitan)
§  Iman kepada Kitab-kitab Allah
§  Iman kepada Nabi dan Rasul
§  Iman kepada Hari Akhir
§  Iman kepada Taqdir Allah.[25]
Dari proses kehidupan Rasulullah Saw, beliau menggunakan langkah-langkah membina dan mendidik pribadi dengan lima dasar pembinaan aqidah yang harus dilakukan untuk menanamkan ke dalam jiwa antara lain:
§  Membaca kalimat tauhid Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammad Rasul Allah.
§  Menanamkan cinta kepada Allah
§  Menanamkan cinta kepada Rasul Allah
§  Mengajarkan al-Qur'an dan;
§  Menanamkan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan.[26]
Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa sebenarnya kepercayaan yang dipegang teguh umat Islam terdiri dari berbagai hal seperti di bawah ini dan yang termasuk kajian materi ibadah:
1)      Percaya pada ke-Esaan Tuhan yang Maha Esa
Keyakinan ini adalah pengetahuan tentang Allah, ke-Esaan-Nya. Dijelaskan juga bahwa Allah selalu mengawasi dan mendengarkan perkataan manusia, serta Allah selalu bersama mereka di tempat manapun. Bila konsep ajaran Islam tentang kecintaan remaja kepada Allah benar-benar sudah tertanam dalam jiwa dan hati mereka, dengan disertai memiliki keyakinan yang kuat dan pengetahuan sang Khaliq yang benar, maka setiap permasalahan yang mereka hadapi tidak akan membuat resah, gelisah dan putus asa. Bahkan keimanan yang telah tertanam dalam dada mereka dijadikan sebuah pegangan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
2)      Mempercayai Malaikat-Malaikat Allah
Malaikat adalah makhluk Allah yang suci, kesuciannya dilengkapi lagi dengan keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya, yaitu keistimewaan untuk tidak makan, minum dan tidak tidur. Percaya pada malaikat berasal dari prinsip-prinsip Islam yang mana ilmu pengetahuan dan kebenaran yang terdapat di dalamnya tidak dapat dibatasi oleh pengetahuan indera atau oleh persepsi panca indera itu sendiri.
3)      Percaya pada Kitab Suci dan Wahyu Allah
Kitab suci dan wahyu memberikan jalan terang dan petunjuk, dimana Rasul menerimanya untuk disampaikan kepada umatnya. Ia turun menyampaikan kebenaran dari Allah, satu-satunya kitab yang otentik dan komplit dari Allah sampai saat ini, hanyalah al-Qur'an. Apapun yang telah dibenarkan dalam al-Qur'an diterima sebagai sesuatu kebenaran dari Allah dan apapun yang tidak dibenarkan oleh al-Qur'an juga tidak diterima dan ditolak umat Islam.
4)      Percaya kepada Semua Utusan Allah
Utusan Allah adalah merupakan manusia pilihan dari Allah untuk mengajarkan manusia dan menyampaikan pesan-pesan-Nya yang paling sempurna. Semua utusan Allah tanpa kecuali adalah makhluk yang fana’, mati, dengan mu'jizat yang agung, diangkat oleh Allah untuk melaksanakan suatu tugas yang ditentukan. Diantara mereka adalah Muhammad yang merupakan seorang rasul terakhir.
5)      Percaya pada Hari Pembalasan atau Hari Kiamat
Percaya pada hari pembalasan merupakan jawaban pembebas terhadap segala persoalan di dunia. Orang yang tidak pernah ingat akan dosa adalah mereka lupa kepada Allah, sehingga mereka mudah melakukan perbuatan–perbuatan tercela dalam hidupnya. Segala perbuatan baik, maupun perbuatan yang tercela, akan mendapatkan pembalasan yang setimpal di hari pembalasan.
6)      Percaya pada Qada dan Qadar Allah
Percaya kepada Qada dan Qadar Allah artinya, mempercayai tentang pengetahuan dan kekuasaan Allah yang abadi yang tidak dapat diketahui oleh manusia. Maka hal itu tidak sesuai dengan yang menjadi keinginan manusia. Ketika Allah membuat sesuatu rencana yang kemudian Allah berkuasa pula untuk melakukan segala rencananya. Manusia harus memiliki kepercayaan yang penuh kepada Allah dan menerima segala yang diinginkannya. Karena pengetahuan manusia sangat terbatas dan pemikirannya tidak kuat untuk mempertimbangkan semua itu secara pribadi, sedangkan sebaliknya pengetahuannya sangat luas dan Allah selalu berencana atas dasar-dasar yang menyeluruh.
b.      Materi Pembinaan Ibadah
Pelaksanaan ibadah yang dilakukan remaja bisa dijadikan barometer adanya aqidah yang tertanam secara qoqoh pada jiwa mereka. Semakin tinggi nilai-nilai ibadah yang mereka miliki akan semakin tinggi pula keimanan yang tertanam pada jiwa mereka.
Secara umum ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah Swt., yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapatkan ridlo Allah Swt..
Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas maksud hidup manusia.[27] Kata ibadah dalam bahasa arab mempunyai makna yang jauh lebih luas. Ibadah mencakup sekaligus makna patuh sepenuh hati dan penambahan. Ia mempunyai pengertian menundukkan sama sekali kehendak pribadi kepada kehendak orang lain, sehingga dengan demikian kata 'abd berarti budak, yang hidup dan kehendaknya berada pada tuan atau majikannya.
Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama telah terkenang dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan Ilmu Fiqh Islam.[28] Fiqh Islam tidak hanya tentang hukum dan tata cara shalat, tetapi mencakup pembahasan tentang zakat, puasa, haji, tata ekonomi Islam (mu'amalat), hukum waris (fara'id), tata pernikahan (munakahat), tata peperangan (jihad), makanan sampai dengan tata negara (khilafah).
Pemahaman remaja terhadap materi ibadah diawali dengan pengenalan ilmunya. Remaja perlu diserahkan ke lembaga-lembaga pendidikan yang membidanginya, sehingga peribadatan yang diamalkan nya secara garis besar yang merupakan materi ibadah, setidak-tidaknya remaja dapat menguasai. Sehingga remaja dapat beribadah dengan baik dan benar.
Proses pendidikan ibadah bagi remaja terbagi pada 5 (lima) dasar pembinaan, yaitu pembinaan ibadah shalat, pembinaan ibadah puasa, pembinaan ibadah zakat, dan pembinaan ibadah haji.[29]
1)      Pembinaan Ibadah Shalat
Ibadah sebagai realisasi dari aqidah Islamiyah tetap terpancar dan diamalkan dengan baik oleh setiap remaja. Terutama ibadah shalat yang merupakan indikasi tegak atau tidaknya seseorang dalam beragama. Semakin baik shalat seseorang akan semakin tegak pula aqidah Islamiyahnya.
Setidak-tidaknya pengetahuan tentang fiqh Islam harus diberikan meskipun secara garis besar, terutama sekali tentang fiqh shalat, puasa, zakat dan haji sebagai kelengkapan rukun Islam. Dalam pembinaan ibadah shalat bagi remaja ada beberapa tahap yang perlu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka, yakni:
a.       Perintah melaksanakan shalat.
Cara pembinaan yang terbaik adalah mengajak remaja melaksanakan shalat, pendidik memberikan pemahaman kewajiban melaksanakan shalat dan memerintah remaja untuk melaksanakannya.
b.      Mengajarkan tata cara ibadah shalat.
Peran pendidik dalam hal ini mulai mengajarkan sarat sahnya shalat, rukun dan yang membatalkan. Batasan usia 7 tahun adalah sebagai awal yang baik untuk mengajarkan masalah yang berkaitan dengan shalat. Selain itu mengajarkan langsung tentang tata cara yang berkaitan dengan ibadah shalat, serta mengajarkan adzan dan iqamat.
c.       Perintah shalat dan sanksi bila meninggalkan shalat.
Usia sepuluh tahun merupakan usia yang harus benar - benar diperhatikan, ketika orang tua sudah memasuki usia sepuluh tahun, rasul membolehkan orang tuanya memukul, jika belum melaksanakan shalat. Rasulullah menekankan pada anak sejak usia tujuh tahun dan usia 10 tahun perlu di pukul jika meninggalkannya. Oleh karena itu masalah ini lebih ditekankan lagi pada remaja. ini Sesuai hadits Nabi yang berbunyi:



Artinya: "Diriwayatkan dari Abdul Maliki ibnu ar-Rabi’ ibnu Sabrah dari Bapaknya dari Kakeknya, berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Suruhlah anak kalian melaksanakan shalat apabila usianya sudah mencapai tujuh tahun, dan pukullah dia jika meninggalkannya apabila usinya sudah mencapai sepuluh tahun.”[30] (HR. Abu Daud)

d.      Melatih remaja melaksanakan ibadah malam.
e.       Membiasakan remaja melaksanakan shalat istikharah.
f.       Mengajak remaja ikut shalat ‘id.
g.      Membawa remaja ke masjid dan mengikatnya dengan masjid
Mengikat remaja dengan masjid merupakan sebagai usaha pembinaan yang sangat baik dan sebuah langkah preventif untuk menyelamatkan remaja dari hal-hal yang bias merusak dirinya serta untuk membentengi budi pekertinya dari pengaruh-pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan syariat agama. Aktivitas dalam masjid difokuskan pada pembentukan akhlak yang bernuansa ketuhanan dan pemahaman agama yang sudah ditangkap oleh remaja. Sehingga dalam hati mereka benar-benar tertanam nilai-nilai ke-Islam-an dan keimanan.
2)      Pembinaan Ibadah Puasa
Fungsi ibadah puasa bagi remaja adalah untuk memberikan pemahaman kepada mereka tentang arti nilai-nilai keikhlasan yang sebenarnya, sehingga dalam melakukan amal kebaikan benar-benar ditujukan kepada Allah Swt semata. Dalam ibadah puasa, mereka berusaha menahan lapar dengan tidak makan dan menahan haus dengan tidak minum, sekalipun dalam suasana yang sangat sepi dan tidak diketahui oleh orang lain.
Ibadah puasa adalah kewajiban bagi mereka, mereka dilatih untuk melaksanakan ibadah puasa secara penuh. Karena diharapkan ketika memasuki usia dewasa tidak kesulitan lagi menyuruh dan memberikan pengertian kepada mereka.
3)      Pembinaan Ibadah Haji
Pembinaan ibadah haji, yaitu memberikan pemahaman hal­hal yang berkenan dalam ibadah haji, serta sesekali anak diajak untuk latihan ibadah haji melalui manasik haji..
4)      Pembinaan Ibadah Zakat
Sejak dini remaja harus sudah diberi pemahaman tentang kewajiban ibadah zakat baik zakat fitrah maupun harta. Maka remaja yang bersangkutan akan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memiliki perasaan saling tolong-menolong dalam dirinya. Karena itulah ibadah zakat penting sekali diajarkan kepada remaja sehingga mereka mengerti dan memahami fungsi dan tujuan disyariatkannya ibadah zakat.
c.       Materi Pembinaan Akhlak
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa arab khuluq yang bentuk jamaknya akhlak yang berarti kebiasaan, perangai, tabiat dan agama.[31]
Sedangkan secara terminologi akhlak adalah prinsip atau ajaran yang serba meliputi (komprehensif) yaitu berupa kegiatan akal atau perilaku yang membedakan seseorang dengan memantau perkembangan kejiwaannya dan memberikan kesempatan baginya untuk berperilaku dan bersikap secara alami.[32]
Menurut Imam al-Ghazali akhlaq adalah:




Artinya: “Akhlak adalah sifat yang tertahan dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”[33]
Akhlak merupakan aplikasi keinginan jiwa yang berupa perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan karena keinginan sendiri bukan karena paksaan. Elizabeth menyebutnya sebagai moral yang sebenarnya, yaitu:
”Behavior which may be called “true morality” not only conforms to social standards but also is carried out voluntarily it comes with transition form external to internal authority and consist of conduct regulated form within it is accompanied by a feeling of personal responsibility for ones act. It involves giving primary consideration to the welfare of the group while relegating personal desires or gains to a position of secondary importance.”

Tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya, bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat tetapi dilakukan dengan sukarela, tingkah laku terjadi karena adanya kekuatan dari luar diri ke dalam jiwa dan ada ketetapan hati dalam melakukannya. Yang disertai dengan tanggung jawab atas tindakan itu dengan mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Selain itu sebagai moral.
Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam kerangka membentuk remaja dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.
Dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh aqidah Islamiyah remaja, pendidikan remaja harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang memadai. Sehingga dikemudian hari kesalehan remaja benar-benar diharapkan. Selain harus pandai berhubungan baik dengan sang pencipta, remaja harus dilengkapi dengan akhlak al-karimah dalam berhubungan dengan sesama manusia. Dalam rangka mendidik akhlak kepada remaja selain harus diberikan keteladanan yang tepat, juga memberikan pengawasan akhlak baik di sekolah maupun di rumah.
Akhlak (Islami) menurut Quraish Shihab lebih luas maknanya mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.[34] Akhlak Islam dapat diartikan sebagai akhlak yang menggunakan tolak ukur ketentuan Allah. Dalam hal ini Quraish Shihab menyatakan bahwa tolak ukur kelakuan baik mestilah merujuk kepada ketentuan Allah.
Pembinaan akhlak diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk pribadi remaja, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.[35]
Ibnu Maskawaih dalam bukunya Suwito mengatakan bahwa dalam rangka mendidik akhlak pada remaja dapat melalui menyampaikan nilai-nilai akhlak dalam berbagai materi pelajaran.[36]
Materi pembinaan akhlak kepada remaja menurut pendapat Quraish Shihab bahwa akhlaq lebih luas maknanya, yaitu mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah saja, misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran, akhlak agama mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlaq terhadap Allah, dan kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda­benda tak bernyawa lainnya).[37]
Beberapa aspek akhlak tersebut yaitu:
1)      Akhlak kepada Allah
Alam dan seisinya ini mempunyai pencipta dan pemelihara yang diyakini adanya yakni Allah Swt. Dialah yang memberikan rahmat dan menurunkan adzab kepada siapa saja yang dikehendakinya. Manusia wajib taat dan beribadah hanya kepadanya sebagai wujud rasa terima kasih terhadap segala yang dianugerahkan Allah kepada manusia manifestasi dari pengabdian manusia terhadap Allah. Sebagai contoh yaitu taqwa, syukur, tawakkal, ikhlas dan taubat.
2)      Akhlak pada diri sendiri
Akhlaq terhadap diri sendiri yang dimaksud adalah sebagaimana seorang menjadi dirinya (jiwa dan raga) dari perbuatan yang dapat menjerumuskan dirinya perbuatan dosa atau bahkan perbuatan itu berpengaruh kepada orang lain. Akhlak terhadap diri sendiri meliputi perbuatan jujur disiplin, pemaaf, hidup sederhana, dan memelihara kesucian diri (al-Ifafah).
3)      Akhlak terhadap sesama manusia
Di dunia ini tidak ada satupun yang bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain. Sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah­tengah masyarakat Islam menganjurkan umatnya untuk saling memperhatikan satu sama lain dengan saling menghormati, tolong menolong dalam kebaikan, berkata sopan, berlaku adil dan lain-lain. Sehingga akan tercipta sebuah kelompok masyarakat yang hidup dalam ketenteraman dan kedamaian. Diantara akhlak terhadap sesama manusia tergambar dalam sikap lemah lembut terhadap sesama manusia, kasih sayang, tolong­menolong dalam kebaikan, berlaku adil dan menepati janji.

4)      Akhlak terhadap lingkungan
Allah menciptakan isi bumi ini dengan bermacam-macam bentuk dan sifatnya. Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang mempunyai derajat paling tinggi. Karena manusia dibekali dengan akal pikiran yang membedakan dengan ciptaan Allah yang lainnya. Untuk memberikan keseimbangan bagi hidup manusia, maka Allah menciptakan hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan oleh manusia. Untuk itu manusia wajib melestarikannya. Akhlak manusia terhadap lingkungannya ini bisa dilakukannya dengan sadar dengan memelihara kelestarian lingkungan hidup, menjaga dan memanfaatkan hewan dan tumbuhan dengan tidak berlebih–lebihan serta menyayangi sesama makhluk.
Dari uraian pentingnya akhlak bagi manusia di atas menunjukkan bahwa dalam hidupnya manusia mempunyai tanggung jawab baik pada dirinya sendiri, sesama manusia dan lingkungannya. Tanggung jawab itu menunjukkan bahwa keIslaman seseorang tidak bisa dicapainya dengan ibadah mahdhah saja, tetapi juga ibadah ghairu mahdhah. Untuk itu harus disertai dengan usaha mempelajari dan menghayati ajaran agama Islam sampai dapat memperkokoh jiwa dan kepribadiannya, serta mengikuti petunjuk-Nya. Ini dituntut menampilkan akhlak yang luhur mewujudkan nilai-nilai moral illahiyah yang tinggi dan suci. Ia wajib memperhatikan ketentuan­ketentuan allah, komitmen terhadap seluruh perintahnya dan menjauhi larangan nya sehingga merasa selalu bernaung dibawah cahaya dan hidayah Allah dalam setiap urusan.

  1. Metode Pembinaan Keimanan pada Remaja
Yang dimaksud dengan metode pembinaan keimanan pada remaja ialah cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Yang tentunya remaja dalam hal ini merupakan peserta didik atau siswa-siswi. Kata metode di sini diartikan secara luas, karena pembinaan adalah satu bentuk upaya mendidik, maka metode yang dimaksud disini mencakup juga metode mengajar.[38]
Bentuk metode pendidikan Islam menurut Qutbh “merupakan suatu metode yang khas dan tersendiri baik dari segi alat-alat maupun dari segi tujuannya.”[39]
Maka dari itu pendidikan yang bijaksana akan terus mencari berbagai metode yang lebih efektif yang sesuai dengan norma Islam. Namun demikian bagaimana metode-metode yang efektif dalam pembinaan keimanan. Di sini ada beberapa metode pembinaan keimanan pada remaja, diantaranya:

a.       Pembinaan dengan Keteladanan[40]
Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode paling ampuh dan efektifitas dalam menyiapkan dan membentuk peserta didik secara moral, spiritual dan sosial. Sebab seorang pendidik merupakan contoh yang ideal dalam pandangan remaja karena setiap tingkah laku dan sopan santun akan ditiru dengan sadar atau tidak bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan yang bersifat material, indrawi maupun spiritual karena keteladanan merupakan faktor penentu baik buruknya peserta didik.
Meskipun peserta didik berpotensi besar untuk meraih sifat­sifat baik dan menerima dasar-dasar pendidikan yang mulia, ia akan jauh dari kenyataan yang positif dan terpuji jika kedua matanya melihat langsung pendidiknya yang tidak bermoral.
Dalam metode teladan ini dapat diterapkan dalam tiga aspek, yaitu pembinaan akidah, ibadah dan akhlak. Karena bila guru karyawan dan semua unsur yang terkait dengan lembaga pendidikan tersebut telah melaksanakan aturan maka para siswa akan meniru untuk melakukannya. Memang yang mudah bagi pendidik adalah mengajarkan berbagai teori pendidikan kepada peserta didik, sedang yang sulit bagi peserta didik adalah mempraktekkan teori tersebut. Jika orang yang mengajar dan mendidiknya tidak pernah melakukannya atau perbuatannya berbeda dengan ucapannya maka peserta didik tidak akan dapat melaksanakan perintah dengan baik, atau bahkan sama sekali tidak melakukannya. Contohnya, sekolah memberikan aturan untuk selalu membaca al-Qur’an, shalat dhuha, shalat dzuhur berjama’ah atau aturan kesopanan. Tetapi kenyataannya guru dan karyawan tidak dapat melaksanakannya tetapi hanya memerintah peserta didik saja maka mereka akan enggan melakukannya.
Karena itulah pendidikan yang ideal adalah yang diiringi keteladanan yang baik karena merupakan salah satu faktor terpenting yang akan mempengaruhi hati dan jiwa peserta didik. Sehingga sejak dini peserta didik dididik dengan aqidah, ibadah, berakhlak dan bertingkah laku berdasarkan ajaran Islam.
Dengan demikian pendidikan berkewajiban mencurahkan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari kepada peserta didik juga berkewajiban berdakwah dan memberikan pendidikan yang baik agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang di atas aturan ajaran Islam, berakidah yang tanpa disertai syirik, beribadah hanya karena Allah dan berakhlaqul karimah.
b.      Pembinaan dengan Adat Kebiasaan
Diantara masalah-masalah yang diakui dan diterapkan dalam syariat Islam adalah bahwa pada awal penciptaan-Nya seorang anak itu dalam keadaan suci dan bertauhid murni, beragama lurus dan beriman kepada Allah. Dari sinilah peran pembiasaan, pengajaran, pendidikan dalam menumbuhkan dan menggiring peserta didik kedalam tauhid murni, akhlaq mulia, keutamaan jiwa dan untuk melakukan syariat yang hanif (lurus).
Pembiasaan merupakan metode yang penting untuk peserta didik. Karena pada masa ini belum kuat ingatannya, ia cepat melupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Peserta didik dapat menurut dan taat kepada peraturan dengan jalan membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Pembiasaan yang baik artinya menanamkan kebiasaan kepada peserta didik yang akan terus berakar sampai hari tuanya. Walaupun menanamkan kebiasaan kepada peserta didik adalah sukar dan kadang memakan waktu yang lama, akan tetapi segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan sukar pula diubah. Maka dari itu lebih baik peserta didik dijaga supaya mempunyai kebiasaan yang baik dari pada terlanjur memiliki kebiasaan yang buruk.[41]
Dengan demikian masa remaja bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan, latihan dan pembiasaan. Karena itu menurut Muhammad Nur Abdul Hafid mengatakan bahwa “peserta didik harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal mereka ketika sudah dewasa.”[42]Dimana ketika mereka sudah mendapatkan kewajiban dalam beribadah, sehingga pelaksanaan ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai nilai kenikmatan tersendiri. Metode ini juga dapat digunakan dalam pembinaan akhlak. Melalui pembiasaan berakhlak baik dengan Allah, diri sendiri, orang tua, guru, teman, dan lingkungan. Pembiasaan ini diharapkan semasa hidupnya remaja akan memiliki akhlaqul-karimah.
c.       Pembinaan dengan Nasihat
Diantara metode dan cara-cara mendidik yang efektif di dalam upaya membentuk keimanan peserta didik yaitu dengan nasihat. Sebab nasihat berperan dalam menjelaskan kepada peserta didik tentang segala hakikat, menghiasinya dengan moral mulia, dan mengajarinya tentang prinsip-prinsip Islam.[43] Karena di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulangi. Nasihat yang berpengaruh yaitu yang dilakukan secara terus menerus, karena akan membuka jalan perasaan secara langsung. Dengan demikian peserta didik akan tergerak untuk melakukan hal-hal yang disarankan oleh pendidik.[44] Oleh sebab itu metode ini dapat digunakan dalam pembinaan Ibadah dan Akhlak.
d.      Pembinaan dengan Pengawasan
Maksud pembinaan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi peserta didik dalam upaya membentuk akidah dan moral, dan mengawasinya dalam melaksanakan ibadah serta mempersiapkannya secara psikis dan sosial, menanyakan secara terus menerus tentang keadaannya. Baik dalam hal pendidikan jasmani maupun rohani. Metode ini termasuk dasar terkuat dalam mewujudkan manusia yang seimbang, yang dapat menjalankan kewajiban– kewajibannya di dalam kehidupan ini. Dari sinilah ia akan menjadi seseorang muslim yang hakiki, akan menjadi pondasi dan pembinaan peraturan Islam. Sebagai prasyarat terwujudnya kejayaan Islam dan untuk tegaknya dakwah Islamiyah sehingga umat Islam akan loyal terhadap kebudayaan, kedudukan dan peranannya.[45]
Islam dengan prinsipnya-prinsipnya yang universal dan dengan peraturan-peraturannya orang tua, lembaga pendidikan untuk selalu mengawasi dan mengontrol peserta didik mereka dalam setiap segi kehidupan, dan pada setiap aspek kependidikan. Dengan demikian metode ini dapat diterapkan dalam pembinaan akidah, akhlak dan ibadah.
e.       Pembinaan dengan Ganjaran dan Hukuman
Maksud dari ganjaran ini adalah sebagai pendorong dan penghargaan kepada peserta didik, bukan merupakan sesuatu yang diharap-harapkan oleh mereka. Karena jika terjadi hal yang demikian maka tujuan pendidikan akan mengalami kegagalan. Sebagaimana pendapat Abu Ahmadi Bahwa memberi ganjaran seorang guru haruslah hati-hati. Hadiah ini jangan sekali-sekali menjadi upah. Hadiah ini bersifat ekstra atau pemberian yang tidak diharapkan.
Hadiah itu bisa dikategorikan menjadi dua macam yaitu:
1)      Hadiah yang berbentuk penghargaan yang bersifat kebendaan
2)      Hadiah yang bersifat non benda atau materi namun berbentuk pujian, sanjungan kepercayaan dan lain-lain.[46]
Di samping pembalasan terhadap tingkah laku atau perbuatan anak yang berbentuk ganjaran perlu juga adanya hukuman atau sanksi. Karena setiap manusia diciptakan dalam sifat dan watak yang berbeda­beda. Maka dari itu perlu adanya sanksi ketika peserta didik melanggar aturan-aturan yang ada. Tujuan hukum ini tidaklah hanyalah untuk mencegah banyaknya pelanggaran. Jadi secara mutlak metode hukuman tidak dapat semena-mena dilakukan sesuai dengan sejauh mana sikap dan tingkah laku peserta didik. Lebih tepatnya metode ini diterapkan dalam pembinaan ibadah dan akhlak.
f.       Pembinaan dengan Hafalan
Metode hafalan ini menurut Imam Ghozali dapat digunakan dalam pembinaan aqidah. Imam Ghozali menjelaskan secara khusus cara menanamkan aqidah pada peserta didik. Beliau berpendapat bahwa langkah pertama yang sebaiknya diberikan kepada mereka dalam menanamkan akidah adalah menekankan pada hafalan. Karena metode hafalan merupakan proses awal untuk menapaki pada proses berikutnya, yaitu proses pemahaman. Peserta didik yang hafal terhadap sesuatu kemudian berusaha memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan kukuh yang pada akhirnya akan membenarkan apa yang telah diyakini sebelumnya. Ini merupakan proses pembenaran dalam sebuah akidah yang dialami peserta didik pada umumnya. Memang diakui juga, bahwa Allah Swt memberikan keutamaan pada sebagian anak dengan menanamkan akidah langsung ke dalam jiwanya tanpa harus melalui proses pendidikan dan pembinaan.[47]
Jadi permulaan dengan menghafal, kemudian memahami, beri’tiqad, meyakini dan membenarkan. Dan yang demikian termasuk hal yang berhasil pada peserta didik dengan tidak memerlukan dalil. Maka diantara karunia Allah ke dalam hati manusia ialah bahwa terbukanya pada awal kejadian manusia mengenai iman tanpa memerlukan alasan dan dalil. Memang i’tiqad yang berasal dari taqlid pada mulanya mengalami kelemahan dengan pengertian mungkin hilang bila datang lawannya. Maka dari itu harus dikuatkan dan diteguhkan ke dalam jiwa peserta didik sehingga meresap dan tidak goyah lagi. Jalan menguatkan dan menetapkannya tidaklah dengan perdebatan ilmu. Tetapi dengan memperbanyak membaca dan menghafal al-Qur’an serta tafsirnya membaca Hadits dan pengertiannya. Dengan demikian i’tiqad itu senantiasa bertambah dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hujjahnya yang akan mengetuk telinga serta hatinya. Dengan kesaksian Hadits dan faedah-faedah yang terkandung didalamnya.
Dalam proses penanaman sesekali aqidah perlu diajarkan pada peserta didik untuk selalu membicarakan dan berdiskusi panjang lebar untuk mengetahui sejauh mana penanaman dan pemahaman mereka terhadap persoalan ghaib. Akan tetapi yang terpenting adalah mereka disibukkan dengan banyak membaca al-Qur’an serta mempelajari hadist-hadist Rasulullah. Disamping itu mereka harus disibukkan dengan amalan-amalan keseharian yang bernuansa ritual ubudiyah. Karena ketika peserta didik tengah membaca al-Qur’an dan hadits serta mempelajari artinya secara tidak langsung aqidah yang sudah tertanam dalam jiwanya akan bertambah dan dengan banyak melakukan ibadah keseharian, secara tidak disadari keimanan tertanam dalam jiwanya.

  1. Pendekatan Pembinaan Keimanan
Dalam kegiatan pembinaan keimanan yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan. Pendidik dan peserta didiklah yang menggerakkannya. Dalam membina, pendidik harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan peserta didik. Pandangan pendidik terhadap peserta didik akan menentukan sikap dan perbuatan pendidik dalam memandang peserta didik sebagai pribadi yang berbeda dengan peserta didik lainnya. Akan berbeda dengan pendidik yang memandang peserta didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan pandangan yang keliru dalam menilai peserta didik. Sebaiknya pendidik memandang peserta didik sebagai individu dengan segala perbedaannya, sehingga mudah melakukan pendekatan dalam melakukan pembinaan.
Dalam melaksanakan pembinaan keimanan pada remaja dapat dipakai beberapa pendekatan, diantara:
a.       Pendekatan Pengalaman
Pendekatan pengalaman yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada remaja dalam rangka penanaman nilai-nilai keimanan.[48] Belajar dari pengalaman adalah lebih baik dari sekedar bicara dan tidak pernah berbuat sama sekali. Belajar adalah kenyataan yang ditunjukkan dengan kegiatan fisik. Betapa tingginya nilai suatu pengalaman, maka disadari akan pentingnya pengalaman itu bagi perkembangan jiwa remaja. Sehingga dijadikanlah pengalaman itu sebagai suatu pendekatan. Untuk pendidikan agama Islam, pendekatan pengalaman yaitu suatu suatu pendekatan yang memberikan pengalaman keagamaan kepada siswa dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini siswa-siswi diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan, baik secara individu maupun kelompok. Sebagai contohnya, adalah ketika bulan Ramadhan tiba, semua kaum muslimin diwajibkan melaksanakan ibadah puasa. Di malam bulan Ramadhan biasanya setelah kaum muslimin selesai menunaikan shalat Tarawih dilanjutkan dengan kegiatan ceramah agama sekitar tujuh menit yang disampaikan oleh ulama’ atau guru agama. Para siswa dan siswi biasanya tidak ketinggalan untuk mendengarkan ceramah tersebut. Kegiatan siswa ini adalah untuk mendapatkan pengalaman keagamaan.[49]
b.      Pendekatan Pembiasaan
Pendekatan ini bermaksud memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.[50] Pembiasaan adalah alat pendidikan. Karena dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik remaja dikemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian baik pula. Sebaliknya pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok manusia yang buruk pula. Menanamkan kebiasaan baik memang tidak mudah, dan kadang­kadang makan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Dalam pendidikan agama Islam sangat penting ditanamkan pembiasaan, karena dengan pembiasaan itulah diharapkan siswa senantiasa mengamalkan ajaran agamanya. Maka dari itu pendekatan pembiasaan yang dimaksud disini yaitu memberikan kesempatan kepada siswa-siswi untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.[51]
c.       Pendekatan Emosional
Yang dimaksud pendekatan emosional adalah suatu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama.[52] Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik perasaan jasmaniyah maupun perasaan rohaniyah. Perasaan rohaniyah di dalamnya ada perasaan intelektual, perasaan estetis, perasaan etis, dan perasaan harga diri.
Emosi mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Itulah sebabnya pendekatan emosional yang berdasarkan emosi atau perasaan dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan dan pengajaran, terutama untuk pendidikan agama Islam. Pendekatan emosional yang dimaksudkan disini adalah suatu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi remaja dalam meyakini, memahami, dan menghayati ajaran agamanya. Dengan demikian yang harus diusahakan oleh pendidik yaitu selalu mengembangkan perasaan keagamaan remaja agar bertambah kuat keyakinannya akan kebesaran Allah Swt dan kebenaran ajaran agamanya.[53]
d.      Pendekatan Rasional
Pendekatan rasional berarti suatu usaha untuk memberikan rumusan kepada rasio (akal) dalam memahami dan menerima  kebenaran ajaran agama Islam.[54] Di sekolah peserta didik dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan. Perkembangan berfikir remaja dibimbing ke arah yang lebih baik, sesuai dengan tingkat usia peserta didik. Perkembangan berfikir remaja mulai dari yang abstrak sampai yang konkret. Maka pembuktian suatu kebenaran, dalil, prinsip, atau hukum menghendaki dari hal-hal yang sangat sederhana menuju ke kompleks. Pembuktian tentang sesuatu yang berhubungan dengan masalah keagamaan harus sesuai dengan tingkat berfikir peserta didik. Kesalahan pembuktian akan berakibat fatal bagi perkembangan jiwa remaja. Usaha yang terpenting bagi pendidik adalah bagaimana memberikan peranan kepada akal (rasio) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, termasuk mencoba memahami hikmah dan fungsi ajaran agama.[55]
e.       Pendekatan Fungsional
Pendekatan fungsional yaitu usaha menyajikan ajaran agama Islam dengan menekankan kepada kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.[56] Ilmu pengetahuan yang dipelajari remaja di sekolah bukanlah hanya sekedar pengisi otak, tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan remaja, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Remaja dapat memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bahkan yang lebih penting adalah ilmu pengetahuan dapat membentuk kepribadian remaja. Remaja dapat merasakan manfaat dari ilmu yang didapatnya di sekolah. Remaja mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu untuk kepentingan hidupnya. Dengan begitu maka nilai ilmu sudah fungsional di dalam diri remaja. Pelajaran agama yang diberikan di kelas bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan pengisi intelektual, tetapi untuk di implementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang demikian itulah yang pada akhirnya hendak dicapai oleh tujuan pendidikan agama di sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan. Karena itu, kurikulum pun disusun sesuai dengan kebutuhan siswa di masyarakat. Pendekatan fungsional yang diterapkan di sekolah diharapkan dapat menjembatani harapan tersebut.[57]
f.       Pendekatan Keagamaan
Pendidikan dan pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan satu atau dua macam pelajaran, tetapi terdiri dari banyak mata pelajaran. Semua mata pelajaran itu pada umumnya dapat dibagi menjadi mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama. Khususnya untuk pelajaran umum, sangat berkepentingan dengan pendekatan keagamaan. Hal ini dimaksudkan agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan nilai agama. Dengan penerapan prinsip-prinsip mengajar, seperti prinsip korelasi dan sosialisasi, pendidik dapat menyisipkan pesan-pesan keagamaan untuk semua mata pelajaran umum. Tentu saja pendidik harus menguasai ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan mata pelajaran yang dipegang. Mata pelajaran biologi, misalnya, bukan terpisah dari masalah agama, tetapi ada hubungannya. Cukup banyak dalil agama yang membahas masalah biologi. Persoalannya sekarang terletak, mau tidaknya pendidik mata pelajaran tersebut mencari dan menggali dalil-dalil dimaksud dan menafsirkannya guna mendukung penggunaan pendekatan keagamaan dalam pendidikan dan pengajaran. Surat Yasiin, ayat 34 dan ayat 36, adalah bukti nyata bahwa pelajaran biologi tidak bisa dipisahkan dari ajaran agama. Surat Yasiin ayat 37, 38, 39 dan 40 adalah dalil-dalil nyata pendukung pendekatan keagamaan dalam mata pelajaran fisika.
Akhirnya, pendekatan agama dapat membantu pendidik untuk memperkecil kerdilnya jiwa agama di dalam diri peserta didik, yang pada akhirnya nilai-nilai agama tidak dicemoohkan dan diremehkan, tetapi diyakini, dipahami, dihayati, dan diamalkan secara benar oleh anak.[58]

  1. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu hal yang urgen dalam suatu proses pembinaan. Sebab evaluasi digunakan untuk melihat sejauh mana materi yang sudah dilaksanakan, metode, pendekatan, dan sarana yang ada telah dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Tegasnya penilaian atau evaluasi ini merupakan barometer untuk mengukur tercapainya proses interaksi.[59] Sehingga perlu adanya rancangan alat evaluasi yang tepat. Agar apa yang dikehendaki dari proses pembinaan keimanan dapat tercapai dan memenuhi target.


[1] Abdul Majid Azzindani, dkk., Al Iman, (Semarang: Pustaka Barokah, 2000), hal 2.
[2] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982),                                   hlm. 13-14.
[3] Burhanuddin Agus, Al-Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1993), hlm. 69.
[4] Sunaryo, Al-Quran Dan Terjemahnnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993), hlm. 848.
[5] Abdul Majid Azzindani, dkk., op.cit., hlm. 7.
[6] Zuhairini dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), Hal. 35
[7] Sunaryo RHA, op. cit., hlm. 93.
[8] Abi Abdillah Muhammad Ibnu Ismail al Bukhari, Matan Masykul Al Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Umiyah, t.th ),Juz I , hlm. 297.
[9] UUD 1945 dengan Penjelasannya, Amandemen I, I,I, IV UUD 1945, (Surabaya: Sari Agung, tth. ) hlm.29.
[10] Sunaryo, RHA., op.cit., hlm. 373.
[11] Sunaryo, RHA., Ibid., hlm. 862.
[12] WJS. Poerwadarminta, loc.cit,
[13] Depag RI, Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN, (Jakarta: Depag RI Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), hlm. 6.
[14] WJS. Poerwadarminta, loc.cit.
[15] Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), cet I, hlm. 23-26.
[16] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, cet. Ke- VI, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.
[17] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlaq Ibnu Miskawih, cet. I, (Yogyakarta: Belukar, 2004) hlm. 122.
[18] Imam Munawir, Memahami Prinsip-Prinsip Al-Islam, (Surabaya: Mina Ilmu, 1988), hlm. 83.
[19] Zakiah Darajat, et. al., Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), hlm. 151.
[20] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, cet ke-I (Yogyakarta: LPPI, 1993), hlm. 1.
[21] Ibid
[22] Yunahar Ilyas, op. cit., hlm. 6.
[23] Burhanuddin Agus, op. cit., hlm. 79.
[24] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 15.
[25] Yunahar Ilyas, op.cit., hlm. 7.
[26] Muhammad Nur Abdul Hafidz, Mendidik Anak Usia 2 Tahun Hingga Baligh Versi Rosulullah Bidang Aqidah Dan Ibadah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hlm. 18.
[27] Zakiah Daradjat, et al, op.cit., hlm. 308.
[28] Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 102.
[29] Muhammd Nur abdul Hafid, op. cit, hlm. 127.
[30] Abdurrahman Muhammad Ustman, ’Awanul Ma ’bud, JuzI (Beirut: Daar Al Fikr, t.th.), hlm. 161.
[31] H.A. Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtisar Baru Van Holve, 1997) hlm. 73.
[32] Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah Khuluqiyah, Terj. Afifuddin, (Solo: Media Insani, 2003), Cet I, hlm. 56.
[33] Imam al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, JilidI, (Beirut: Darul Al-Kutub Al Ilmiah, 1332), HAL 36.
[34] M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur'an, CetI, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 261.
[35] Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, cet. IV, (Jakarta: Rajab Rafindo Persada, 2002),               hlm. 50
[36] Suwito, op.cit, hlm. 122.
[37] M. Quraish Shihab, op.cit.
[38] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 131.
[39] M. Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Al-Ma'arif, ( Bandung: Al-Ma'arif, 1993), hlm. 18.
[40] Nasih Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1992),                hlm. 20
[41] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Rosda Remaja Rosda Karya, 2003), hlm. 177.
[42] Muhammad Nur Abdul Hafid, op.cit., hlm. 125.
[43] Nasih Ulwan, op.cit., hlm. 65.
[44] Muhammad Quthb, op.cit., hlm.334.
[45] Nasih Ulwan, op.cit., hlm. 128.
[46] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, cet II (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm.53-54.
[47] Ismail Ya’kub (Terj.), Ihyaa ‘Ulum ad-Diin Imam Al Ghazali, Jilid I, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), hlm. 336.
[48] Marasudin Siregar, ”Pengelolaan Pengajaran” dalam bukunya Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti (eds), PBM PAI di Sekolah Eksistensi danPBM PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah kerja sama dengan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 182.
[49] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 71.
[50] Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, loc.cit.
[51] Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, loc.cit.
[52] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, op.cit., hlm. 73.
[53] Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, op.cit., hlm. 75
[54] Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, loc.cit
[55] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, op.cit., hlm. 76-77.
[56] Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, op.cit., hlm. 183.
[57] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, op. cit., hlm. 77.
[58] Ibid, hlm. 78.
[59] B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997) hlm. 158.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar